Pages

Rabu, 24 Juni 2015

Complaint Letter

The Manager
PT MAHA MEGAH
Loundang street 25 B
299119
                                                                                                                                    10th Juni 2015

Dear Sirs,
We regret to have to cormplain about late delivery of the filing cabinets ordered on 2nd Juni 2015 We did not receive them until this morning though you had guaranteed delivery within a week. It was on this undirstanding that we placed the other. Unfortunately, there have been similar delays on several previous occasions and their increasing frequency in recent months compels us to say that business between us cannot be continued inconditions such as these.

We have felt it is necessary to make our feelings khown. Since we cannot give reliable delivery dates to our customers unless we count on undertaking given by our suppliers We hope you will understand how we are placed that from now on we can
rely upon punctual completion of our orders.

Yours faithfully,


Desi Wajarningtias

Kamis, 16 April 2015

Order Letter

PT SURYA KENCANA
Jl. Raya Mawar No. 12 A
Jakarta Selatan


Number : 08/Pe/VII/15                                                                                               April 8, 2015


Dear Mr. Widoyo
PT NISSIN MANDIRI
Jl. Merpati No. 27
Jakarta Utara

Case: Order Goods

With Regards,
Based on information from an employee of the marketing department, your company has a lot of good quality electronic items, once we learned we feel comfortable with the terms offered.We would ask you to send items  as soon as possible :
NO
NAME OF ITEM
BRAND
TOTAL OF ITEM
PRICE
TOTAL PRICE
1
Laptop
Asus
4 items
Rp 5.000.000
Rp 20.000.000
2
Laptop
Accer
3 items
Rp 7.000.000
Rp 21.000.000
3
Laptop
Samsung
2 items
Rp 4.000.000
Rp 8.000.000
4
Laptop
Hp
1items
Rp 7.000.000
Rp 7.000.000


In connection with this matter, please orders shipped up to 1 week, and the payment will be sent after we received the item.

For your cooperation, we thanks.
                                                                                                                     Sincerely,

                                                                                                              Desi Wajarningtias

                                                                                                              Marketing Manager

Selasa, 31 Maret 2015

Application Letter

HRD Department
Bank Tabungan Negara
Cabang Bekasi
Kranji Street No.15
Bekasi

Dear Sir or Madam,

I am writing to you to inquire about the possibility of working in your company that was informed by Website www.btn.co.id. I am interested in “Front Liner ” position.

My name is Desi Wajarningtias. I am twenty two years old. I have background in Accounting Diploma III in Gunadarma University. And now i have graduate from my college and waiting letter of graduate.

With my educational background, I’m confident that my qualification and skills could make significant contributions to your company. I will be able to operate computer especially MYOB .Besides that, I am a person who can work either independently or as part of team. I am also initiative, hardworking, and eager to learn. I have been training at Harapan Indah city.

My resume has been attached which outline my qualification in greater detail. I would appreciate the opportunity to discuss my qualification; please keep this application confidential. I will look forward to hearing from you soon.

Sincerely yours,


Desi Wajarningtias


Selasa, 13 Januari 2015

Etika Keilmuan

Seperti yang telah kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan bukanlah pengetahuan yang datang  dengan sendirinya seperti barang yang sudah jadi, karena ilmu pengetahuan memiliki suatu cara pemikiran yang khusus dengan pendekatan yang khas sehingga menghasilkan pengetahuan yang dapat dibagi, diuji dan dipertanggungjawabkan secara terbuka. Dan dalam dunia keilmuan juga mempunyai etika tersendiri untuk memperolehnya.
Setiap aspek kehidupan memiliki etika yang harus ditaati, demikian pula dalam kehidupan ilmiah memiliki etika yang biasa disebut dengan nama ”etika keilmuan” yang mencakup tentang nilai-nilai yang baik maupun yang buruk, dan mengenai hak serta kewajiban bagi seorang ilmuwan atau mahasiswa. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini agar kita mampu memahami tentang etika keilmuan dan menerapkannya dalam kehidupan sosial terutama bagi kita sebagai seorang mahasiswa yang diharuskan mampu memahami dan menerapkan suatu ilmu dengan tepat.
1.      1.      Etika Keilmuwan
Istilah etika keilmuwan mengantarkan kita pada kontemplasi mendalam, baik mengenai hakekat, proses pembentukan, lembaga yang memproduksi ilmu lingkungan yang kondusif dalam pengembangan ilmu, maupun moralitas dalam memperoleh dan mendayagunakan ilmu tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.
1.      A.    Etika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (2005:309), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral. Moral yang dimaksudkan di sini adalah akhlak, yakni budi pekerti atau kelakuan makhluk hidup. itu dengan kata lain disebutkan bahwa etika itu membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik, yang di dalamnya ada aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.
Dapat diketahui bahwa persoalan etika tidak terlepas dari pengetahuan tentang manusia sebagai makhluk hidup yang sempurna. Jika kembali kepada kata muasalnya, etika berasal dari bahasa Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan, perbuatan atau tingkah laku manusia tetapi bukan adat, melainkan adab
1.      B.     Moral
Kata moral identik dengan  suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertian mengenai baik-buruk. Berbicara tentang moral seseorang sama dengan membicarakan tentang kepribadian seseorang yang dimaksud. Karena itu, sesungguhnya moral telah membuat posisi manusia berbeda atau lebih sempurna daripada makhluk Tuhan lainnya.
KBBI membuat dua pandangan tentang pengertian moral. Pertama, sebagai ajaran tentang baik-buruk yang diterima akibat perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya oleh manusia. Kedua, kondisi mental yang mebuat orang tetap berani, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, yang berpangkal pada isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan (KBBI, 2005:6-7).
1.      C.    Norma
Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat kelompok warga di dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Norma juga dapat disebutkan sebagai ukuran atau kaidah yang menjadi tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu .Misalnya, setiap masyarakat harus menaati suatu tata tertib yang berlaku.
1.      D.    Kesusilaan
Kesusilaan atau susila merupakan bagian kecil dari norma sehingga kita mengenal nama norma susila, yaitu aturan yang menata tindakan manusia dalam pergaulan sosial sehari-hari, seperti pergaulan antara pria dan wanita. Kesusilaan dapat pula menjadi bagian dari adab dan sopan santun.
Di samping empat hal di atas, tinjauan filsafat juga mesti memiliki estetika, yakni mengenai keindahan dan implementasinya dalam kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
1.      2.       Problem etika ilmu pengetahuan
Problem adalah suatu masalah, kendala atau persoalan yang harus dipecahkan dengan kata lain problematika merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan suatau yang diharapkan dengan baik, agar tercapai tujuan dengan hasil yang maksimal
Disini Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal. karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkannya.  Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan “menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya, karena sudah kodratnya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup dalam kondisi sosio-teknik  yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk teknologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini teknologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya.
Selain daripada itu, meskipun ilmu pengetahuan dengan penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan, tetapi jelas karena sudah menyangkut relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang berupa teknologi  apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan sosial yang mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial-politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (teknologi) dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan teknologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku produsen dengan konsumen.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana teknik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari perorangan, mengenai yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil teknologi moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan faktual manusia, sehingga terjadi hubungan timbal balik dengan apa yang sebenarnya terjadi.
1.      3.      Ilmu: Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai
Ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas nilai adalah pada pandangan bahwa ilmu itu berkembang tanpa merujuk pada suatu hukum atau sistem tertentu. Beda dengan teknologi. Karena teknologi lahir atas dasar penciptaan manusia, ia terikat oleh suatu aturan atau sistem, terikat juga dengan selera pasar dan perundang-undangan. Namun, bagaimana mengetahui tentang teknologi, tak diikat oleh undang-undang apa pun. Allah swt. sendiri berfirman untuk memberikan kebebasan bagi hamba-Nya menjelajahi seluruh jagat raya, di bumi dan di langit, yang semua itu hanya bisa dilakukan dengan ilmu.
Akan tetapi, jika kita mengacu kepada pengertian yang ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikatakan ilmu adalah:
“Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di dalam bidang (pengetahuan) tersebut.” (KBBI, 2005:423)
Dengan pengertian yang diberikan oleh KBBI tercermin bahwa sebuah ilmu mesti memiliki sistemik dan sistematis sehingga terkesan ada hal yang mengingkatnya sebagai suatu nilai.
1.      4.      Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Sikap dan perilaku sangat penting dalam kehidupan. Setiap tingkah laku, dan perilaku seseorang akan menjadi tolok ukur tentang kepribadian seseorang tersebut. Oleh karena itu, seorang ilmuwan mesti memiliki sikap ilmiah yang mencerminkan dirinya sebagai ilmuwan. Sikap dimaksud bisa berupa rendah diri, tidak sombong atau angkuh, dan selalu menghargai orang lain. Karenanya, seorang yang memiliki ilmu dan sikap yang baik cenderung dikaitkan dengan padi atau kepada seseorang yang memiliki ilmu akan diminta untuk memiliki “ilmu padi” semakin merunduk semakin berisi.
Sikap ilmiah diharapkan dimiliki oleh seorang ilmuwan sebab sesuai dengan pengertiannya bahwa ilmuwan adalah orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu. Ilmuwan dapat pula dikatakan kepada orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan.
Kaitannya dalam pembahasan ini, sikap ilmiah dimaksudkan bagi seorang ilmuwan adalah memiliki dan memahami etika, moral, norma, dan kesusialaan.
Diederich mengidentifikasikan 20 komponen sikap ilmiah sebagai berikut :
a. Selalu meragukan sesuatu.
b. Percaya akan kemungkinan penyelesaian masalah.
c. Selalu menginginkan adanya verifikasi eksprimental.
d. Tekun.
e. Suka pada sesuatu yang baru.
f. Mudah mengubah pendapat atau opini.
g. Loyal terrhadap kebenaran.
h. Objektif
i. Enggan mempercayai takhyul.
j. Menyukai penjelasan ilmiah.
k. Selalu berusaha melengkapi penegathuan yang dimilikinya.
l. Dapat membedakan antara hipotesis dan solusi.
m. Menyadari perlunya asumsi.
n. Pendapatnya bersifat fundamental.
o. Menghargai struktur teoritis
p. Menghargai kuantifikasi
q. Dapat menerima penegrtian kebolehjadian dan,
r. Dapat menerima pengertian generalisasi
Sumber:
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2012/09/23/etika-keilmuan/

Etika Bisnis

Hukum Syar'I

Hukum Syar’I terbagi menjadi dua  ; Hukum Taklify, dan Hukum Wadh’y. Hukum Taklify  terbagi menjadi lima : Wajib, Mandub, Haram, Makruh, dan Mubah. Sebagian ulama membaginya menjadi tujuh macam :  Fardhu, Wajib, Mandub,  Makruh  Tanzihiyan, Makruh Tahrimiyan, Haram dan Mubah.
Adapun Hukum Wadh’y terbagi menjadi tiga : Sebab, Syarat dan Halangan.
HUKUM TAKLIFY :
1/ Wajib ;
Wajib secara bahasa berarti jatuh atau roboh, sebagaimana firman Allah swt :
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“ Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. “ ( QS Al Hajj : 36 )
Tata cara menyembelih unta yang benar menurut para ulama adalah dengan mengikat  tangan  kiri ( kaki kiri depan ) unta dan disembelih dari sebelah kanan, sehingga secara otomatis dia akan jatuh disebelah kiri atau dalam istilah Al Qur’an disebut ( wajabat junubuha )
Wajib juga berarti keharusan, sebagaimana sabda Rosulullah saw :
غسل الجــمعة واجـب
“ Mandi pada hari jum’at itu adalah suatu keharusan . “ ( HR Bukhari , no : 879 , Muslim, no : 1925 )
Adapun pengertian “ Wajib “ secara syar’I adalah : Sesuatu yang diperintahkan oleh syara’ secara tegas. “  Atau : “ Sesuatu yang apabila dikerjakan   akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan  mendapatkan sangsi, contohnya adalah firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “ ( QS Al Baqarah : 183 )
Mayoritas ulama memandang bahwa  pengertian “ wajib “ sama dengan pengertian “ fardhu “. Sedang menurut ulama Madzhab Hanafi  “ Wajib “ adalah sesuatu yang diketahui dengan praduga.
Sedang Fardhu secara bahasa adalah  ketentuan, sebagaimana firman Allah swt :
فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“  Bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. “ ( QS Al Baqarah : 237 )
سُورَةٌ أَنزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا
“ Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya. “ ( QS. An Nur : 1)
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Fardhu bersifat  tegas dan ketat, sekaligus mengandung ketentuan yang sangat jelas. Itu semua agar  ketentuan-ketentuan tersebut  bisa  dilaksanakan dengan disiplin  dan mudah.
Adapun arti Fardhu secara syar’I  adalah “ Ketentuan-ketentuan yang telah  ditetapkan oleh syara’  secara jelas dan tegas, serta pasti.  Ketentuan –ketentuan tersebut  tidak boleh dikurangi maupun ditambah.  Hal itu, karena dalil- dalil yang menjadi sandarannya adalah dalil yang kuat dan tidak diragukan  lagi, seperti kewajiban sholat, zakat, haji dan lain-lainnya.
Sedangkan “ Wajib “ adalah : “ Ketentuan-ketentuan yang telah  ditetapkan oleh syara’  secara tidak tegas , dikarenakan dalil-dalil yang menjadi sandarannya, tidak terlalu kuat.  Oleh karenanya orang yang mengingkari kewajiban, karena tidak menyakininya, dia tidak dikatagorikan sebagai oang yang kafir. Berbeda dengan Fardhu, orang yang mengingkarinya dikatagorikan kafir dan keluar dari Islam.
Secara ringkas Fardhu dan Wajib, mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya :
  1. Fardhu dan Wajib sama-sama menunjukkan suatu keharusan, akan tetapi keharusan yang terdapat di dalam Fardhu lebih kuat dari apa yang dikandung di dalam “ wajib “ .
  2. Fardhu berlandaskan dalil-dalil yang kuat dan pasti, sedang Wajib berlandaskan dalil-dalil yang masih mempunyai kelemahan dari beberapa sisi.
  3. Orang yang mengingkari fardhu, tergolong orang yang murtad dan kafir. Berbeda dengan orang yang mengingkari “ Wajib “ , dia tidak dihukumi murtad, tetapi dikatakan sesat. Dan Jika dia mengingkari “ wajib ‘ karena menganggapnya tidak termasuk yang wajib dengan  alasan-alasan tertentu, dia tidak dikatagorikan sesat.
BEBERAPA MASALAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN WAJIB DAN FARDHU
  1. 1/ Membaca surat Al Fatihah di dalam sholat.
Mayoritas Ulama memandang bahwa membaca surat Al Fatihah di dalam sholat hukumnya wajib yang berarti fardhu, jika ditinggalkan,  maka sholatnya dinyatakan tidak syah, karena dia termasuk rukun sholat.
Namun bagi ulama mazdhab Hanafi membaca surat Al Fatihah di dalam sholat  hukumnya wajib, yang berarti bukan fardhu.  Mereka beralasan bahwa Al Qur’an yang merupakan dalil qath’I  tidak menyebutkan keharusan membaca surat Al Fatihah, Allah berfirman :
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“ karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. “ ( QS Al Muzammil : 20 )
Ayat di atas menyatakan bahwa yang fardhu adalah membaca Al Qur’an , baik itu membaca surat Al Fatihah maupun membaca ayat-ayat lain di dalam Al Qur’an. Oleh karenanya, jika seseorang tidak bisa atau belum bisa membaca Al Fatihah, dibolehkan baginya untuk membaca tiga ayat .
Sedang hadist yang menyebutkan tentang kewajiban membaca Al Fatihah di dalam sholat tidak sampai pada derajat mutawatir, sehingga tidak kuat jika dihadapkan pada ayat di atas. Hadits tersebut adalah sabda Rosulullah saw :
لا صلاة لمن لا يقرأ بفاتحة الكتاب
“ Tidak ( syah ) sholatnya bagi siapa yang tidak membaca Al Fatihah “ ( HR Bukhari , Muslim )
2/ Hukum Umrah.
Ulama madzhab Hanafi menyatakan bahwa haji hukumnya fardhu, bukan wajib, karena mempunyai landasan kuat dari Al Qur’an, yaitu firman Allah swt :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah ( QS Ali Imran : 97 )
Sedang umrah  hukumnya wajib atau bahkan sunnah, karena landasannya berupa hadits ahad.
3/ Suci ketika mengerjakan Thowaf
Mayoritas ulama menyatakan bahwa suci dari hadast  termasuk salah satu syarat syahnya syahnya Thowaf . Dalilnya adalah sabda Rosulullah saw :
الطواف بالبيت صلاة ، إلا أنكم تتكلمون فيه
“ Thowaf di Ka’bah merupakan ibadah sholat, hanyasanya kalian  boleh berbicara di dalamnya “ ( HR Tirmidzi )
Hadist di atas menyatakan bahwa thowaf hukumnya seperti sholat.  Sholat disyaratkan di dalamnya suci dari  hadast , maka thowaf demikian juga.
Adapun ulama madzhab Hanafi ([1]) menyatakan bahwa suci bukan syarat syah Thowaf, karena syarat tersebut hanya berlandaskan hadist ahad, yang mana hadits tersebut tidak kuat jika dihadapkan pada ayat Al Qur’an yang menyatakan keharusan untuk melakukan thowaf tanpa menyebut di dalamnya syarat suci dari hadast   , yaitu firman Allah swt :
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” ( QS Al Hajj : 29 )
4/ Hukum sholat witir
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat witir hukumnya wajib, bukan fardhu , karena landasannya adalah hadist ahad, yaitu sabda Rosulullah saw :
إنَّ اللَّهَ تَعَالَى زَادَكُمْ صَلَاةً أَلَا وَهِيَ الْوِتْرُ
“ Sesungguhnya Allah telah menambahkan kepada kamu kewajiban sholat, yaitu sholat witir. “  ) ([2]
PEMBAGIAN WAJIB
Wajib bisa diklasifikasikan menjadi  empat bagian    :
  1. Bagian  Pertama ; adalah  Kewajiban ditinjau dari obyek tuntutannya.
Kewajiban  ditinjau dari obyek tuntutannya , dibagi menjadi  dua :
a/ Wajib Mu’ayyan ( wajib yang telah ditetapkan ) : yaitu kewajiban untuk mengerjakan hal-hal yang tertentu dan tidak ada pilihan di dalamnya, seperti  halnya kewajiban membayar zakat, kewajiban menegakkan solat , kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan.
b/ Wajib Mukhayyar ( wajib yang boleh dipilih ) : adalah kewajiban yang  mana seorang mulakkaf dibolehkan  memilih satu dari kewajiban –kewajiban yang ada, seperti : kewajiban seseorang membayar kaffarah , jika melanggar sumpah. Allah berfirman :
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون
«   Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya) ( QS Al Maidah : 89 ) .
Dalam ayat di atas, Allah memberikan pilihan bagi seseorang yang melanggar sumpah untuk membayar salah satu dari tiga bentuk kaffarah :  yaitu :
1/ memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis  makanan yang biasa diberikan kepada keluarganya.
2/  memberi pakaian kepada mereka.
3/ memerdekakan seorang budak.
Jika seorang mukallaf mengerjakan salah satu dari tiga pilihan di atas, bisa dikatakan bahwa dia telah mengerjakan kewajiban.
Contoh kedua adalah firman Allah :
إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاء حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا
“ Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir “ .( QS Muhammad : 4 )
Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan bagi pemimpin kaum muslimin, jika telah menawan musuh-musuh Islam di dalam peperangan untuk mengerjakan salah satu dari dua pilihan, yaitu : melepaskan tawanan tersebut tanpa imbalan, atau melepaskannya dengan mengambil tebusan dari musuh.
  1. Bagian Kedua : Kewajiban ditinjau dari waktu pelaksanan.
Kewajiban  jika ditinjau dari waktu pelaksanaannya dibagi menjadi tiga :
a/ Wajib Mutlaq : yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ tanpa membatasi waktu pelaksanaannya . Seperti : orang yang bernazar untuk puasa tiga hari, maka dia bebas menentukan kapan puasa tersebut mau dilaksanakan.
Hal ini beradasarkan kaedah ushuliyah yang mengatakan bahwa :
الأصل في الأمر لا يقتضي الفور
“ Pada dasanya suatu perintah itu tidak harus dilaksanakan secepatnya “
Kaedah ini dipegang oleh ulama madzhab Hanafi. Sedangkan ulama  madzhab Syafi’I dan Abu Hasan Al Karkhi dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa :
الأصل في الأمر يقتضي الفور
“ Pada dasarnya suatu perintah itu menuntut untuk  dilaksanakan secepatnya “
b/ Wajib Muqayyad : yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ dan dibatasi waktu pelaksanaannya.  Wajib Muqayyad ini dibagi menjadi tiga macam :
b.1/ Wajib Mudhoyaq : “ Yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ batasan waktunya, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, seperti kewajiban puasa pada bulan Ramadhan, kewajiban wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan lain-lainnya.
b.2/Wajib Muwassa’ : yaitu kewajiban yang ditetapkan syareah batasan waktunya  secara lebih luas, seperti waktu sholat Isya, yang dimulai dari hilangnya awan merah hingga datang waktu subuh.
b.3/ Wajib yang  pelaksanaannya melebihi waktu yang tersedia, seperti orang yang baligh, atau wanita yang bersih dari haidh , atau orang gila yang sembuh, atau orang yang sadar dari pingsan, yang kesemuanya terjadi  beberapa menit sebelum adzan maghrib.  Mereka itu wajib melaksanakan kewajiban sholat ashar, walaupun waktunya tidak mencukupi untuk mengerjakan sholat  ashar  secara sempurna yaitu empat rekaat.


( [1] )  Imam Ahmad dalam suatu riwayat juga mengatakan bahwa suci bukan syarat syahnya Thowaf ( Mughni : 3/ 397 )
( [2] )  Hadist di atas adalah hadist lemah, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa hadist tersebut tidak ada asalnya, sebagian yang lain mengatakan maudhu ‘ .

Sumber :
http://www.ahmadzain.com/read/ilmu/400/hukum-syari/
 

(c)2009 Desi Wajarningtias - 11211885. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger